BLT Ekstra Saja Tak Ampuh Redam Dampak Harga Pertalite Naik

Jakarta, CNN Indonesia

Pemerintah menambah bantuan sosial (bansos) dan bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp24,17 triliun untuk meredam dampak inflasi jika harga BBM pertalite dan solar naik.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bantuan itu diberikan dalam tiga bentuk. Pertama, BLT sebesar Rp150 ribu diberikan kepada 20,65 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) selama empat bulan.

“Jadi dalam hal ini ibu menteri sosial akan memberikannya dua kali, yaitu Rp300 ribu pertama dan Rp300 ribu kedua,” ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers, Senin (29/8).

Negara menganggarkan dana sebesar Rp12,4 triliun untuk menambah bansos bagi 20,65 juta KPM.

Kedua, BLT untuk pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta per bulan sebesar Rp600 ribu. BLT itu hanya diberikan satu kali kepada 16 juta pekerja.

Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp9,6 triliun untuk menyalurkan BLT tersebut.

Ketiga, pemerintah memberikan subsidi menggunakan 2 persen dari dana transfer umum, yaitu DAU dan DBH sebesar Rp2,17 triliun untuk transportasi umum, seperti ojek.

Meski sudah mengumumkan tambahan bansos, tetapi besaran kenaikan harga pertalite dan solar subsidi masih menjadi teka-teki sampai sekarang. Pemerintah juga belum memastikan kapan kenaikan harga berlaku.

BLT Ekstra Tak Bisa Redam Dampak Harga BBM Naik

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov berkata tambahan bansos dan BLT itu tak bisa meredam dampak lonjakan inflasi secara signifikan. Pasalnya, pemerintah hanya memberikan BLT kepada pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta.

“Yang gajinya tipis-tipis mendekati Rp5 juta atau Rp5 juta tidak dapat bansos. Padahal mereka ikut merasakan dampak kenaikan bahan bakar. Jadi memang (seluruh bansos) ini belum cukup memadai bisa menahan dampak inflasi,” papar Abra.

Selain itu, BLT kepada pekerja hanya diberikan satu kali. Lalu, tambahan bansos untuk penerima KPM cuma berlangsung empat bulan.

“Apakah Januari, Februari dampak inflasi sudah reda? Harus siapkan tambahan anggaran bansos,” terang Abra.

Abra menjelaskan kenaikan harga BBM akan berdampak sangat besar terhadap inflasi. Minimal, inflasi RI tembus 7 persen sampai 8 persen.

Dampak dari lonjakan inflasi akan terasa dalam jangka pendek dan panjang.

Dampak jangka pendek yang langsung dirasakan adalah masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam ketika membeli BBM subsidi. Lalu, biaya transportasi umum juga ikut meningkat dari sebelumnya.

Sementara, jangka panjangnya adalah bisa membuat harga produk semakin mahal. Tak hanya bahan pangan, tapi juga barang lain.

“Artinya inflasi muncul karena kenaikan harga BBM tidak hanya terjadi satu kali, dampaknya ada gelombang inflasi berikutnya,” ujar Abra.

Ia mencontohkan ketika harga BBM naik dan inflasi meningkat, BI berpotensi menaikkan suku bunga acuan. Setelah itu, suku bunga kredit perbankan akan ikut meningkat.

Hal ini berlaku bagi semua kredit, mulai dari Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), dan kredit investasi.

“Kalau suku bunga investasi naik akan berdampak ke dunia usaha, sehingga akan ditransmisi ke harga jual barang dan akan terus begitu. Jadi memang ini tidak hanya jangka pendek,” kata Abra.

Belum lagi kalau kenaikan harga BBM membuat masyarakat ricuh dan stabilitas politik terganggu. Situasi ini berpotensi merusak iklim investasi di dalam negeri.

“Ada demo, ini akan mempengaruhi keinginan investor dan mempengaruhi iklim investasi,” imbuh Abra.

Jadi, intinya, bansos yang diberikan tak cukup untuk meredam seluruh dampak atas kenaikan harga BBM.

Jalan tengahnya, Abra mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan realokasi anggaran dari belanja kementerian/lembaga (k/l) sebesar 20 persen-30 persen untuk menambah subsidi energi.

Lalu, pemerintah dapat menambah defisit dalam APBN 2023. Dengan demikian, negara memiliki ruang fiskal lebih besar untuk menambah anggaran subsidi energi.

Saat ini, pemerintah mengalokasikan subsidi energi sebesar Rp502,4 triliun. Berdasarkan hitungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), butuh tambahan subsidi sebesar Rp198 triliun agar kuota pertalite dan solar cukup sampai akhir tahun.

“Jika setelah realokasi dan tambahan defisit APBN terkumpul Rp100 triliun, masih butuh Rp98 triliun lagi. Nah ini saja yang dibebankan ke konsumen. Tapi jadinya konsumen tidak menanggung 100 persen, potensi kenaikan harga BBM juga tak harus signifikan,” jelas Abra.

Namun, jika harga pertalite dan solar bersubsidi benar-benar naik, maka jangan kaget kalau konsumsi masyarakat berkurang signifikan di bawah 5 persen pada kuartal IV 2022.

Jika konsumsi masyarakat berkurang drastis, pertumbuhan ekonomi akan jeblok. Maklum, kontributor terbesar PDB Indonesia masih berasal dari konsumsi rumah tangga.

Situasi ini akan membuat target pertumbuhan ekonomi pemerintah sebesar 5,3 persen tak akan terwujud pada 2022.

“Kalau pertumbuhan ekonomi tidak capai target, maka target penerimaan pajak juga akan terpengaruh. Ekonomi turun akan berdampak ke industri dan penerimaan dari pajak penghasilan turun,” kata Abra.

Bersambung ke halaman berikutnya…

Bansos Cukup Asal Harga Pangan Stabil

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

www.cnnindonesia.com Adalah Provider Penyedia Berita ini dengan Sumber Link Berita Asli

Semua Copyright dari Berita dimiliki oleh www.cnnindonesia.com & Untuk Request penghapusan berita & sumber dapat melalui admin@obligasi.com