IDXChannel – Rupiah masih dalam tren pelemahan sejak pekan lalu. Mata uang Garuda sempat bertengger di level Rp15.959 per dolar Amerika Serikat (AS) per pukul 11.29 WIB pada perdagangan awal pekan, Senin (23/10/2023).
Pelemahan rupiah melanjutkan tren setelah pekan lalu semakin terpuruk di level terlemah sejak April 2020 mencapai Rp15.875 per USD di pasar spot. Dalam sebulan, rupiah sudah melemah 3,5 persen terhadap USD, sementara secara 6 bulanan, rupiah sudah terdepresiasi 7,3 persen. (Lihat grafik di bawah ini.)
Mata uang Garuda terus mengalami tren pelemahan dalam tujuh pekan berturut-turut. Bahkan menjelang akhir pekan lalu, rupiah menjadi satu-satunya valuta di Asia yang terlemah.
Sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang berlangsung Kamis (19/10/2023), bank sentral akhirnya menaikkan suku bunga kembali.
Kenaikan suku bunga menjadi jurus pamungkas untuk menyelamatkan rupiah dari tren pelemahan.
BI memutuskan untuk menaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis points (bps) sebesar 6 persen. Sementara BI mempertahankan Deposit Facility sebesar 5,25 persen dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75 persen.
Namun, sinyal menguatnya rupiah masih belum terlihat sejak BI menaikkan tingkat suku bunga.
Mewaspadai Imported Inflation
Menurut Ekonom CELIOS, Bhima Yudhistira, melemahnya rupiah secara terus menerus bisa menyebabkan imported inflation atau inflasi barang-barang impor dan berbahaya bagi ekonomi nasional.
“Kalau sudah di atas 16 ribu cepat atau lambat harga-harga pangan akan mengalami kenaikan karena sebagian pangan kita tergantung dari impor baik itu beras, kedelai, jagung, maupun gula dan bawang putih, karena porsi impornya yang cukup besar, ditambah dengan pelemahan kurs harganya bisa meningkat. Kemudian biaya bahan baku industri misalnya di sektor elektronik, suku cadang otomotif itupun cepat atau lambat akan mengalami penyesuaian,” kata Bhima kepada IDXChannel, Senin (23/10).
Mengutip OCBC NISP, imported inflation adalah inflasi akibat perubahan harga atau kondisi nilai mata uang asing yang terjadi di luar negeri serta perubahan nilai tukar. Hal ini menyebabkan kenaikan pada harga impor sehingga harga jasa dan barang dalam negeri meningkat.
Penyebab lain imported inflation adalah kenaikan harga-harga di negara yang menjadi mitra dagang utama. Ketika harganya naik, maka harga jual maupun harga produk olahan (jika yang diimpor adalah bahan baku) juga meningkat.
Tak hanya itu, Bhima melihat dampak pelemahan rupiah ini akan berdampak sistemik bagi perekonomian nasional. Ini karena dampak menguatnya dolar bisa membebani sektor lain seperti makanan dan minuman, pakaian jadi, dan sektor-sektor yang memiliki ketergantungan bahan baku impor cukup tinggi.
Pasalnya, para pelaku bisnis ini akan cenderung meneruskan selisih kurs kepada konsumen dengan cara meningkatkan harga jual.
“Permasalahannya, dengan konsumen yang daya belinya tertekan, tidak akan sanggup membeli barang-barang yang harganya naik cukup tinggi. Terutama barang-barang sekunder atau barang-barang rumah tangga. Masyarakat akan cenderung berfokus pada kebutuhan pokok rumah tangga, misalnya jika akan membeli rumah mereka akan menunggu dulu sampai suku bunga turun. Kemudian juga mau beli mobil dengan kredit akan ditunda,” imbuh Bhima.
Selain itu, menurut Bhima pelemahan rupiah mendorong bank sentral untuk terus menaikkan suku bunga.
“Kondisi ini menambah beban pelaku usaha karena kenaikan suku bunga di tengah pelemahan kurs akan menciptakan tekanan ganda, jadi harus mewaspadai kedepannya,” pungkasnya. (ADF)
www.idxchannel.com Adalah Provider Penyedia Berita ini dengan Sumber Link Berita Asli
Semua Copyright dari Berita dimiliki oleh www.idxchannel.com & Untuk Request penghapusan berita & sumber dapat melalui admin@obligasi.com